Blogger Widgets

Senin, 06 Januari 2014

Penggunaan Gerak Senyum Dalam Konteks Kebahasaan


Kembali kita akan bahas Bahasa ya temen-temen. Seorang kawan sempat bertanya kepada saya mengenai seberapa pentingkah peran senyum di dalam kebahasaan yang dilakukan oleh manusia sehari-hari, dan bagaimana cara memandang lawan tutur yang tepat pada saat sedang melakukan komunikasi?

Sebelum membahas lebih jauh mengenai ihwal senyum dalam berbahasa, ada baiknya jika kita membuka KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimana di dalamnya terdapat istilah yang dikenal dengan sebutan kineksika. Apa sih yang disebut dengan kineksika? Kineksika merupakan ilmu tentang pemakaian gerak tubuh ( tangan, muka, dan sebagainya ) sebagai bagian dari proses komunikasi *.

Dalam berbahasa, untuk mencapai komunikasi yang optimal ada empat unsur yang harus diperhatikan, digunakan secara baik, dan diterapkan secara sinergis dengan mempertimbangkan konteks secara cermat. Keempat unsur tersebut adalah gerak tubuh, yang meliputi ekspresi wajah; sikap tubuh; dan lain sebagainya. Kemudian ragam, yang meliputi tinggi-rendah suara; keras lembut suara; dan sebagainya. Yang ketiga adalah bahasa; yang mana bahasa ini menjadi piranti utama dari aktivitas berbahasa. Dan yang terakhir adalah lingkungan sosial-budaya yang ditentukan oleh distansi / jarak bertutur.

Ekspresi wajah ini tergolong dalam gerak kinesik yang muncul secara universal dalam komunikasi dan juga berlaku idiosinkretik dalam wahana kebahasaan tertentu. Maka, setiap kelompok sosial dapat membentuk ekspresi senyuman secara sendiri-sendiri dalam praktik kebahasaan yang memberi arti secara khusus dengan konvensi bersama masyarakat penggunanya.

Dalam kultur masyarakat Jawa misalnya, untuk menimbulkan rasa sopan digunakan senyuman dengan tidak memperlihatkan gigi penutur. Kemudian lebar-sempitnya senyuman juga menimbulkan banyak arti tersendiri di dalam frame komunikasi. Ada senyuman dengan arti mengejek, sinis, keakraban, dan sebagainya. Bagaimana masyarakat Jawa dalam berkomunikasi, tentu tidak setiap wilayah sama dengan suku Jawa dalam praktik berkomunikasi.

Kita ambil contoh dari kehidupan sehari-hari. Ketika seorang Ibu dengan mata berkaca-kaca dan dengan senyuman tertentu berkomunikasi dengan anaknya yang baru pulang dari perantauan, maka ini memiliki banyak tafsiran makna. Terharukah perasaan ibu, atau bangga, dan bisa juga bahagia. Namun, seorang anak tidak akan berani tersenyum ketika orang tua nya sedang marah, sebab akan dianggap suatu tindakan ejekan terhadap orang tua tersebut.

Dalam konteks komunikasi, kebudayaan memberikan dampak dan pengaruh besar pada praktik kebahasaan. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan antar kebudayaan dalam memandang lawan tutur.

Bagi orang asing, tatapan tajam terhadap mitra tutur bermakna bahwa ia serius terhadap hal yang sedang dibicarakan. Namun oleh masyarakat Bahasa Indonesia, pandangan mata harus sangat diperhatikan dan harus dilakukan secara hati-hati sebab agar tidak dipandang bahwa hal tersebut tidak lah sopan. Orang Jawa pada saat berkomunikasi mayoritas menunjukkan kesopanannya dengan cara memandang lawan tutur tersebut hendaknya tidak dipandang pada kedua bola matanya. Tetapi dimulai dari memandang ujung hidungnya. Dengan cara ini diharapkan akan mengurangi ketajaman komunikasi dan menimbulkan suatu komunikasi yang baik dan optimal.


( * KBBI Offline1.4 )

Tidak ada komentar: