Sebagai alat
komunikasi, bahasa memiliki banyak keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang
melekat erat pada bahasa itu sendiri yang akhirnya menimbulkan banyak
kesalahpahaman. Hal ini disebabkan adanya penandaan ataupun penyimbolan unsur
kebahasaan yang lazimnya dilakukan secara konvensional dan inkonvensional.
Yang
dimaksud penyimbolan secara konvensional yakni dilaksanakan berdasarkan
kesepahaman dan kesepakatan bersama diantara masyarakat pemakai bahasa. Hal ini
bisa saja menimbulkan persoalan. Misalnya jika dalam bahasa Jawa “segawon” itu
dalam bahasa Indonesia bermakna “anjing” dan dalam bahasa Inggris berarti “dog”.
Penamaan ini dilakukan secara konvensional.
Kemudian
penyimbolan inkonvensional dilakukan secara arbitrer atau semena-mena. Dalam
arti satuan lingual tertentu dipakai untuk menyimbolkan sesuatu entitas di alam
raya ini secara semena-mena dan tidak terlalu jelas alasan serta
justifikasinya. Inilah sebenarnya yang lebih rentan terhadap kesamaran dan
ketaksaan bahasa. R. M. Kempson (1977) membedakan kesamaran dalam praktik
berbahasa ke dalam empat hal. Yakni kesamaran, referensial, kesamaran ketidak
pastian, kesamaran kekurangkhususan, dan kesamaran sambungan. Contoh, kata “desa”
dan “kampung”. Hal ini menimbulkan kesamaran referensial sebab muncul dari
ketidakjelasan referen ketika hadir dalam lingkungan kebahasaan tertentu.
Kemudian
kata “ cukup” dan “lumayan”, akan menimbulkan ketidakjelasan jika dipakai dalam
situasi tertentu. Kesamaran dalam berbahasa tentu dapat mengakibatkan
terjadinya ketaksaan atau kemaknagandaan. Misalnya saja pada kata “ bisa” yang
dapat berarti “racun” dan dapat juga berarti “dapat/mampu”.
Kemaknagandaan
dalam linguistik disebut dengan ketaksaan leksikal. Sebab hadirnya dalam
tataran leksikon. Namun ketaksaan akan pudar jika pemakaiannya dalam konteks
yang sesuai. Peniadaan terhadap konteks tuturan baik yang struktural maupun
yang sosio-kultural dalam pemaknaan akan menyuburkan kesamaran dan ketaksaan
praktik berbahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar